TEORI FUNGSIONAL TALCOTT PARSONS
Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan
empat skema pentingmengenai fungsi untuk semua system tindakan, skema tersebut
dikenal dengan sebutan skemaAGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih
dahulu apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini,fungsi adalah
kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan system.Menurut
parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi
semua system social,meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal
attainment
(G), integrasi (I), dan Latensi (L).empat fungsi tersebut wajib
dimiliki oleh semua system agar tetap bertahan (survive), penjelasannya
sebagai berikut:Adaptation : fungsi yang amat penting disini system harus
dapat beradaptasi dengan caramenanggulangi situasi eksternal yang gawat,
dan system harus bisa menyesuaikan diri denganlingkungan juga dapat
menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.Goal attainment ; pencapainan
tujuan sangat penting, dimana system harus bisa mendifinisikandan mencapai
tujuan utamanya.Integrastion : artinya sebuah system harus mampu mengatur dan menjaga
antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur
dan mengelola ketiga fungsi(AGL).Latency :laten berarti system harus mampu
berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah systemharus memelihara dan
memperbaiki motivasi pola-pola individu dan cultural .Lalu bagaimanakah
Parson menggunakan empat skema diatas, mari kita pelajari bersama.Pertama
adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan cara melaksanakan fungsi
adaptasidengan cara menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal.
Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment difungsikan oleh
system kepribadian dengan menetapkantujuan system dan memolbilisai sumber daya
untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukanoleh system social, dan
laten difungsikan system cultural. Bagaimana system cultural
bekerja?Jawabannhya adalah dengan menyediakan actor seperangkat norma dan nilai
yang memotivasiactor untuk bertindak.Tingkat integrasi terjadi dengan dua
cara, pertama : masing-masing tingkat yang p[aling bawahmenyediakan kebutuhan
kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas.Sredangkan tingkat
yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan tingkat yang
adadibawahnya.Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada
fungsionalisme structural denganmenjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut;
1.
system mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian
yang saling tergantung.
2.
system cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
3.
system bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses
perubahan yang teratur.
4.
sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian
lainnya.
5.
system akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6.
alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan
untuk memeliharakeseimbangan system.
7.
system cenderung menuju kerah
pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan
pemeliharaan hubungan antara bagian-baguan dengan
keseluruhan sostem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan
mengendalikankecendrungan untuyk merubah system dari dalam.
System social
Pada pembahasannya parson mendefinisikan system social sebagai
berikut:sistem social terdiri dari sejumlah actor-aktor individual yang saling
berinteraksi dalam situasiyang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan
atau fisik, actor-aktor yang mempunyaimotivasi dalam arti mempunyai
kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuasan yanghubungannya dengan situasi
mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term system simbol bersama
yang terstruktur secara cultural. (Parsons, 1951:5-6)kunci masalah yang dibahas
pada system social ini meliputi actor, interaksi, lingkungan,optimalisasi,
kepuasan, dan cultural.Hal yang paling penting pada system social yang
dibahasnya Parsons mengajukan persyaratanfungsional dari system social
diantaranya:
1.
system social harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi
dalam hubungan yangharmonis dengan sisten lain.
2.
untuk menjaga kelangsungan hidupnya system social harus
mendapatkan dukungan darisystem lain.
3.
system social harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam
proporsi yangsignifikan.
4.
system social harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari
para anggotanya.
5.
system social harus mampu mengendalikan prilaku
yang berpotensi menggangu.
6.
bila konflik akan menuimbulkan kekacauan maka harus bisa
dikendalikan.
7.
system social memerlukan
bahasa.Definisi sistemSistem mengandung dua pengertian utama yaitu:1.Merupakan
suatu kesatuan dari beberapa subsistem atau elemen definisi yang
menekankan pada komponen atau elemennya2.Merupakan suatu prosedur untuk
mencapai tujuan definisi yang menekankan prosedurnya.Definisi Sistem yang
menekankan pada komponennya menerangkan bahwa sistem adalahkomponen-komponen
atau subsistem-subsistem yang saling berinteraksi, dimana
masing-masing bagian tersebut dapat bekerja secara sendiri-sendiri
(independen) atau bersama-sama serta saling berhubungan membentuk satu
kesatuan sehingga tujuan atau sasaran sistem tersebut dapat
tercapai secara keseluruhan.Definisi Sistem yang menekankan pada
prosedurnya menerangkan bahwa sistem adalah suatu jaringan kerja dari
prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama
untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelasaikan suatu sasaran
tertentu.Teori sistemTeori Struktural Fungsional Talcot Parsons – Paradigma
AGIL.Paradigma AGIL adalah salah satu teori Sosiologi yang
dikemukakan oleh ahli sosiologiAmerika, Talcott Parsons pada sekitar tahun
1950. Teori ini adalah lukisan abstraksi yangsistematis mengenai keperluan
sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, yang mana setiapmasyarakat harus
memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan sosial yangstabil.
Teori AGIL adalah sebagian teori sosial yang dipaparkan oleh Parson mengenai
struktur fungsional, diuraikan dalam bukunya The Social System, yang
bertujuan untuk membuat persatuan pada keseluruhan system sosial. Teori
Parsons dan Paradigma AGIL sebagai elemenutamanya mendominasi teori
sosiologi dari tahun 1950 hingga 1970.AGIL merupakan akronim dari Adaptation,
Goal Attainment, Integration, dan Latency ataulatent pattern-maintenance,
meskipun demikian tidak terdapat skala prioritas
dalam pengurutannya.a)Adaptations b)Goal-Attainment.c)Integration.d)Latency
(Latent-Pattern-Maintenance)Di samping itu, Parsons menilai, keberlanjutan
sebuah sistem bergantung pada persyaratan:a)Sistem harus terstruktur agar
bisa menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampuharmonis dengan
sistem lain. b)Sistem harus mendapat dukungan yang diperlukan dari
sistem lainc)Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara
proporsionald)Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para
aktornyae)Sistem harus mampu untuk mengendalikan perilaku yang berpotensi
menggangguf)Bila terjadi konflik menimbulkan kekacauan harus dapat
dikendalikang)Sistem harus memiliki bahasa Aktor dan Sistem
Sosial.Menurutnya persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai
dan norma ke dalamsistem ialah dengan sosialisasi dan internalisasi. Pada
proses Sosialisasi yang sukses, nilai dannorma sistem sosial itu akan
diinternalisasikan. Artinya ialah nilai dan norma sistem sosial inimenjadi
bagian kesadaran dari aktor tersebut. Akibatnya ketika si aktor sedang
mengejar kepentingan mereka maka secara langsung dia juga sedang mengejar
kepentingan sistemsosialnya.
Talcott Parsons dan Teori Fungsionalisme
Struktural
Tradisi pemikiran para fungsionalis barat mengenai teori
fungsionalisme struktural berangkatdari analogi sistem biologi yang melihat
jasad atau badan sebagai sebuah sistem. Karenamerupakan sebuah sistem, badan
terdiri dari kesatuan komponen-komponen pembentuk yang bekerjasama dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan diri. Berdasarkan analogitersebut,
para ahli mengamati masyarakat sebagai sebuah rangkaian komponen beserta
fungsinya
A. LATAR BELAKANG
Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme
struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik di dalam masyarakat.
Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat
harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bias menjalankan
fungsinya dengan baik. Namun demikian, teori ini mempunyai akar dalam karya
Karl Marx di dalam teori sosiologi klasik dan dikembangkan oleh beberapa
pemikir sosial yang berasal dari masa-masa kemudian.
Teori konflik adalah satu perspektif di dalam
sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri
dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang
lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.
Pada dasarnya pandangan teori konflik tentang
masyarakat sebetulnya tidak banyak berbeda dari pandangan teori funsionalisme
structural karena keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai satu sistem
yang tediri dari bagian-bagian. Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi
mereka yang berbeda-beda tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu.
Menurut teori fungsionalisme struktural,
elemen-elemen itu fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa
berjalan secara normal. Sedangkan teori konflik, elemen-elemen itu mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan
satu sama lain guna memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.
B. TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
. Memahami lebih jauh mengenai teori konflik
menurut Karl Marx.
. Menghubungkan kebenaran teori konflik dengan
fakta/realita di dalam masyarakat.
. Memberikan solusi guna meminimalisir konflik yang terjadi ditengah masyarakat.
. Memberikan solusi guna meminimalisir konflik yang terjadi ditengah masyarakat.
C. ALASAN
Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada
pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh
berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa
pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan
segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima
kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap
dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon,
Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara
untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.
Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik
ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka akan
dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran
golongan lain dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong
kepentingan, cara hidup atau identitas golongan lain dan bersifat horinsontal.
Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan kepada cerminan
realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi
yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.
Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas
agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di banyak daerah
dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto
dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.
Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan
ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi,
termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.
Kunci untuk memahami Marx adalah idenya tentang
konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen
masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu
bisa bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok , atau bangsa.
Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan
saya batasi hanya pada konflik yang terjadi di Ambon, dan akan dicoba untuk
melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik
tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik
yang dikemukakan oleh Karl Marx.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RINGKASAN TEORI/POKOK PIKIRAN
Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan
perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam
kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan
perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori
terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di
tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau
budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga
Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi
antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau
oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan
oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx
dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling kontroversial—yang menjelaskan
sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial
secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi
dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau
konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan
politik.
Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada
usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk
kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas
yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya
ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi
dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi
materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya
terhadap kesadaran individu para pelakunya.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang
Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain
adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan
ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda,
pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang
serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam
menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat
penting.
Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya
sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk
membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha
mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin
dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap
nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu
mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai
media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana
kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan
dibentuk.
B. ANALISIS MASALAH
Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon
antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap
relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh
tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen
yang merasa termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai
sejarah yang panjang yang bisa kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum
kapitalis modern pada jaman penjajahan Belanda.
Pengalaman masa demokrasi parlementer,
menunjukkan betapa sulitnya menciptakan koalisi antarkelas yang mampu berkuasa
dan sekaligus mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-an,
ekonomi Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang
mendorong pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua
perkonomian negara-negara Asia Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya
persaingan politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan pemerintah yang
seringkali tidak tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun
1965-1967.
Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat”
lebih baik—yang terindikasikan hanya melalui
pertumbuhan rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun
setengah abad—namun mengabaikan hak-hak sipil dan
politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) yang sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social
cost yang sangat mahal berupa keterpurukan perekonomian Indonesia
untuk yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan
di banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat
ketat yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang
berlebihan dari pemerintah terhadap rakyat—dengan dalih untuk menciptakan
stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil pembangunan—telah
menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa hanya
terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.
Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu
segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas
bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas bangsa Timur
Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam
dalam benak warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut
warga Kristen hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak”
istimewa oleh penjajah Belanda.
Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan
berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara tidak
langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai
pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar
Maluku telah menyebabkan mereka semakinsurvive dari waktu ke waktu.
Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari
bumi pertiwi dimulailah suatu babak baru hubungan warga Muslim dan Kristen,
kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah
memarjinalkan posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh
karena warga Muslim telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit
dimasa lalu dengan melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih
banyak—baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan.
Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen
terhadap warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah
orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach) yang
sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan
orang-orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang
berat, demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga
puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah
kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga
menghargai—setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari,
benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu saja—terlebih-lebih
dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangatintens—yang terjadi
justru adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan
meledak dengan sangat dahsyat.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah
sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang
murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah
kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah
ekonomi atau material semata
C. KAITAN DENGAN TEORI
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat
bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak
bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk
memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan
sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih”
berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan
upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan
antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga
menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam
hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan
antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan
bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi
Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu
dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu”
dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang
yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk
mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh
sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan
pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin
terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya,
menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti kesadaran palsu. Ini
berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan
kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan
pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada
satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi
tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap
golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh
pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran
palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam
hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses
pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32
tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner”
berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan
yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka
tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi
bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga,
orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan
posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka
yang sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju
terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia
tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah
pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang
saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang
besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk
kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan
struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan
ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam)
dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya
anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa
perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah
runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan individu
dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi
nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari
kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan
memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima
kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun
secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut,
sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai
sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali
mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi
dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan
memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada
pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua
anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang ada.
Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran bagi
kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat
bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong
merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang
berada pada sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada
segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat
atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi
terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela
gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa dari
mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok
Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah.
Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya
itu, maka berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok
Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur
dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga
mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada
perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari
seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe
alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk yang
dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya
sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika
hanya menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri
sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan
kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx
bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas
pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang
mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas
kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks
kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu
melampaui tingkatan empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta
premis-premis filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan
manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara
Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang
mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak
dapat dibuktikan secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang
data empiris yang saling bertentangan.
BAB III
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang
sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk memberikan sumbangan
bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik
yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang
ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.
Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang
terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang berlatar kesenjangan
ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan.
Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik
agamaantara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya
adalah persaingan material, seperti yang telah saya utarakan fakta
sejarahnya dalam tulisan di muka.
Jika memang benar suatu konflik didasarkan
perbedaan agama, maka menurut pendapat R. William Liddle, kondisinya tidak
terlalu serius dan obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah
kesabaran, bukan suatu kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak
terlalu membesar-besarkan masalah pertentangan agama di Indonesia. Dalam
kenyataannya, penganut salah satu agama tidak akan mengancam kepentingan, cara
hidup atau identitas penganut agama lain. Lebih lanjut Liddle mengemukakan,
sebagai pengamat Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui
seorang Islam atau Kristen yang ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut agama
lain. Dalam konteks teori konflik Marx—seperti yang juga telah saya kemukakan
di atas, perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi status
dan kekuasaan politik —yang seringkali ditemukan adalah ketakutan dalam dua
versi, versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat
Kristen (misalnya pada saat L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah hal
yang sebaliknya yaitu ketakutan orang Kristen pada tujuan terselubung umat
Islam (misalnya pada masa jayanya Masyumi atau ketika ICMI mulai bangkit).
Sehingga kesimpulannya adalah jika kedua belah pihak diberi kesempatan untuk
berpoltik secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan
mereka yang berlebihan akan layu dengan sendirinya.
Gejolak antar golongan yang berdasarkan
kesenjangan ekonomi, tampaknya lebih memprihatinkan dibandingkan konflik agama
oleh karena kebijakan ekonomi pemerintah, akan berdampak langsung pada tingkat
kemakmuran 210 juta rakyat Indonesia. Kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak
besar pada kestabilan rejim demokrasi yang baru mulai dibangun di masa
reformasi ini.
Kegagalan para pemimpin partai pada masa
demokrasi parlementer—yang tidak berhasil bertahan lama, apalagi melestarikan
demokrasi di Indonesia—sebabnya antara lain adalah mereka tidak tahu bagaimana
memanfaatkan alat-alat politik yang mereka miliki.
B. S A R A N
Para politisi yang berkuasa pada masa kini
sekiranya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang apa yang harus mereka
lakukan, terutama pemerataan di bidang ekonomi—berupa kesejahteraan rakyat—dan
partisipasi politik rakyat, yang menurut Marx terbukti merupakan faktor yang
sangat penting dalam mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik.
Sebagian besar aktivis dan pemikir “kiri” Indonesia,
tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi serta berupaya sekuat
mungkin melawan kapitalisme, baik dengan cara-cara halus maupun cara-cara
kasar. Kapitalisme dicela sebagai sebuah struktur ekonomi yang memungkinkan
orang kuat (konglomerat) mengalahkan orang lemah (buruh serta petani, pedagang
dan pengusaha kecil) di dalam negeri. Langkah terpenting sesungguhnya adalah
menganggap lembaga-lembaga kapitalisme dan demokrasi sebagai semacam floor (landasan)
bukan ceiling (plafon). Ia merupakan—kalau bukan sebagai
syarat mutlak—kerangka yang paling berguna untuk membangun sebuah rumah
nasional yang modern pada jaman reformasi ini.
Pemerataan kemakmuran dimungkinkan oleh
pertumbuhan ekonomi, khususnya penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya
kemungkinan besar akan dijalankan oleh kapitalisme domestik dan internasional.
Hal itu tidak berarti bahwa pemerataan akan
datang dengan sendirinya, seperti hujan dan langit mendung. Ia harus
diperjuangkan, antara lain melalui perumusan dan penyebaran ide-ide baru,
penggalangan kekuatan politik untuk untuk memenangkan ide-ide tersebut di
tingkat legislatif dan eksekutif pemerintahan, dan pelaksanaan yang efisien dan
efektif oleh administrasi negara.
Akhirnya, agar para intelektual dan aktivis
politik indonesia yang mendambakan pemerataan kemakmuran dan demokrasi
substantif, harus siap berdiri di garis depan dalam perjuangan ini. Masa
reformasi telah membuka banyak kesempatan untuk mencari ide-ide baru dan
cara-cara baru untuk mewujudkannya.